Kajian
Pengembangan Kelembagaan Kawasan Lindung
Rabu, 4 Januari 2006 | 05:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 541
 
 

Tim Penulis :
Wawan Dharma Setiawan, Jat Jat W, Nugraha, Dayat Hidayat, Syarifudin Hidayat, Marifa Ayu Kencana, Zulpikar, Riyadi, Ely Sufianti, Euis Nurmalia

Tahun :
2005

Lokus :
Pemerintah Daerah

ABSTRAK 

Kawasan lindung merupakan ruang dengan segala unsur lingkungan yang berada di dalam suatu kesatuan ekosistem yang memiliki fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu kawasan lindung beserta kekayaan alam yang ada di dalamnya merupakan potensi yang harus dikelola secara seimbang antara kepentingan lingkungan hidup dan nonlingkungannya. Sehingga fungsi utamanya dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa agar keberlangsungannya di masa-masa mendatang dapat terjamin. Dari tujuh kriteria sebuah kawasan di jadikan kawasan lindung, yaitu mulai dari: (1) kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya; (2) kawasan perlindung kawasan setempat seperti sempadan sungai, pantai; (3) kawasan suaka alam; (4) kawasan pelestarian alam; (5) kawasan perlindungan plasma-nutfah eks situ; (6) kawasan cagar budaya; sampai dengan (7) kawasan rawan bencana, semuanya hampir telah mengalami tekanan yang sangat luar biasa dalam pengelolaannya.

Dari data yang ada menunjukkan, bahwa sejak tahun 1997 sampai dengan saat ini kondisi kawasan lindung terus mengalami penurunan. Kerusakan yang ada sulit untuk dikembalikan ke keadaan semula. Dampak dari kerusakan ini salah satunya dapat dilihat dari tingginya bencana alam seperti banjir, kekeringan, berkurangnya sumber air dan kerusakan ekosistem lainnya, termasuknya hilangnya berbagai keragaman hayati yang seharusnya menjadi salah satu kebanggaan Indonesia di mata dunia. Akibat eksploitasi yang kurang terkendali di kawasan lindung, telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri di masa-masa mendatang.

Mengingat pentingnya sebuah kawasan lindung bagi kehidupan manusia, maka setiap upaya dalam menanggulangi setiap kerusakan di kawasan lindung selayaknya harus mendapat dukungan semua fihak. Berbagai upaya tersebut bisa dimulai dari aspek yang paling mendasar seperti model manajemen kelembagaan pengelolaannya yang dapat dijadikan titik tonggak bersama dalam mengelola kawasan lindung di daerah. Persoalan kelembagaan ini menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan proses otonomi daerah yang saat ini sedang berjalan. Kehadiran model kelembagaan kawasan lindung akan menjadi suatu pedoman bagi Daerah, sebab harus diakui dengan proses pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah yang belum tuntas, kebutuhan daerah akan pedoman pengelolaan sebuah kewenangan termasuk dalam kewenangan dalam pengelolaan kawasan lindung menjadi suatu yang sangat penting untuk segera dirumuskan.

Penentuan kelembagaan, khususnya kelembagaan publik akan sangat terkait dengan Perumusan kebijakan publik. Vicker (dalam Fadilah, 2003) mengatakan ada empat aspek atau dimensi analisis dalam kebijakan publik, yaitu pertama, mental (mental), berfungsi sebagai untuk menggambarkan kepentingan, tanggung jawab, nilai-nilai implisit dan bawah sadar para pengambil kebijakan (policy makers).

Kedua, kelembagaan (institutional) menyangkut pembatasan dan kemudahan kelembagaan, bagaimana lembaga berubah, menyesuaikan diri dan tumbuh, akuntabilitas lembaga serta mekanisme kerja dan termasuk kiteria pengukuran kinerja atau keberhasilan. Ketiga, keadaan (situational) dimana kebijakan itu dihasilkan dalam konteks gagasan dan kesempatan, jenis keputusan serta macam-macam situasi yang berhubungan dengan pengambilan keputusan suatu kebijakan. Keempat, ekologis (ecological) menyangkut bagaimana hubungan kebijakan tersebut dengan masyarakat luas dan lingkngan ekologisnya, termasuk berkaitan dengan peran apa yang dimainkan warga negara, jaringan komunikasi serta proses pembelajaran bagi publik. Dengan demikian persoalan kelembagaan adalah menyangkut bagaimana sebuah entitas dibentuk dan dibatasi, serta pola interaksi dan hubungannya dengan entitas lain diluar dirinya. Pola interaksi ini yang pada gilirannya akan membentuk batasan dan perkembangan dari kelembagaan tersebut dalam kerangka suprasistem yang lebih luas.

Selanjutnya, menurut UNDP (1999) ada tiga level kapasitas kelembagaan yang harus memadai agar proses-proses kelembagaan yang dijalankan menjadi sangat kokoh. Ketiga kapasitas tersebut yaitu: (1) level sistem; (2) level organisasi; dan (3) level individu. Pertama, level pertama dari ukuran kapasitas kelembagaan adalah level sistem, yaitu level yang menyangkut aspek tata aturan yang baik (good governance) dari kelembagaan yang ada dengan seluruh stakeholdernya, baik itu secara vertikal dengan instansi pemerintah yang lain maupun horizontal dengan kelompok masyarakat dan dunia usaha.

Kedua, level kedua dari kapasitas kelembagan adalah level organisasi, yaitu menyangkut bentuk dan struktur kelembagaan. Pertanyaannya, sudahkan bentuk kelembagaan yang ada saat ini, baik itu bentuk Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan masing-masing struktur yang dimilikinya mampu menjawab kebutuhan pembangunan di masing-masing daerah? Ketiga, level ketiga dari pengukuran kapasitas kelembagaan ini adalah level individu, yaitu menyangkut kualitas dan kompetensi aparatur dalam kelembagaan yang ada di daerah. Dan hal ini sesungguhnya merupakan hal yang pertama dan utama yang berkaitan dengan kualitas pemerintah daerah adalah menyangkut kualitas aparatur ini. Dengan posisi demikian, Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (PKP2A) I Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, sebagai salah satu lembaga yang berfungsi untuk memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan administrasi publik. Maka kajian kelembagaan pengelolaan kawasan lindung menjadi arti yang sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam.