Kajian
Menggali Potensi Dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kawasan Jatinangor
Sabtu, 3 Januari 2015 | 05:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 2055
 
 

Tim penulis:
Pratiwi

Tahun:
2014

Lokus:
Pemerintah Daerah

ABSTRAK

Sektor informal sangat penting berperan dalam perekonomian sebuah kawasan baru di perbatasan. Sektor informal yang sebagian besar diisi oleh PKL terbukti mengurangi jumlah pengangguran terutama bagi warga yang kurang dapat mengakses pendidikan formal. Dengan adanya peluang usaha pada sektor informal, kualitas hidup sebuah keluarga menjadi lebih baik. PKL tergolong dalam sektor informal yang dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan ekonomi perkotaan. Bahkan mayoritas penggerak sektor informal adalah PKL. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi, tidak teratur, dan kebanyakan legal namun tidak terdaftar. Sektor informal memiliki beberapa karakteristik antara lain jumlah unit usaha banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses keuangan yang berasal dari lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang lebih rendah dibanding sektor formal.

Pada konteks Kecamatan Jatinangor, telah disahkan Peraturan Bupati (Perbup) Sumedang No. 12 tahun 2013 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Strategis Provinsi Pendidikan Jatinangor. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa batas kawasan perencanaan Kawasan Jatinangor di sebelah utara dibatasi hingga Desa Sindangsarim Desa Naggerang, dan Desa Mekarsari, Kecamatan Sukasari. Di sebelah selatan dibatasi hingga Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, dan Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Di sebelah barat dibatasi hingga Desa Cipacing dan Desa Sayang, Kecamatan Jatinangor. Di sebelah timur, KSPPJ dibatasi hingga Desa Jatiroke dan Desa Hegarmanah, dan Kecamatan Jatinangor. Perbup yang disahkan pada 14 Februari 2013 tersebut sayangnya tidak mengatur secara eksplisit tentang PKL dan instansi yang bertanggung jawab terhadap masing-masing urusan penataan Jatinangor. Penelitian ini lantas dilaksanakan untuk menjawab tiga rumusan masalah yakni; 1) Bagaimana sebaran PKL di KSPPJ? 2) Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang berkaitan dalam penataan PKL di wilayah KSPPJ? 3) Permasalahan dan potensi apa saja yang dimiliki oleh PKL dalam menjalankan usahanya?

Kemunculan PKL yang jumlahnya mengalami peningkatan dalam kurun delapan tahun terakhir memunculkan beberapa masalah yang terus pula menjamur. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain kemunculan preman-preman yang secara liar memungut pungutan karena menyewakan ruang publik, menumpuknya sampah di sudut jalan protokol, dan kurangnya kenyamanan publik karena sebagian besar dari PKL menempati ruang publik seperti trotoar dan bahu jalan. Meski demikian, hadirnya PKL ini berperan terhadap pengurangan pengangguran, penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang tidak bekerja di sektor formal serta perbaikan kualitas hidup.

Dalam upaya pengembangan usaha dan pengurangan penangguran PKL mengalami sejumlah kendala yakni permodalan. Dalam hal permodalan, kredit Kusuma yang telah diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang ternyata kurang tersosialisasikan kepada PKL di Kawasan Jatinangor. PKL juga tidak memiliki akses peminjaman modal kepada Bank konvensional karena beratnya agunan dan bunga cicilan perbulan. Selain permodalan, PKL juga masih mengalami kendala dalam legalitas tempat usaha, sehingga sewaktu-waktu usaha mereka dapat berhenti karena adanya penggusuran. Legalitas yang ada terkait dengan belum jelas kewenangan SKPD yang berwenang untuk mendata dan melegalkan PKL yang ada di Kawasan Jatinangor.

Penelitian ini pada pungkasnya merekomendasikan sebuah model pengelolaan PKL di Kawasan Jatinangor. Model ini mencakup beberapa aspek yakni kewenangan, pendataan, permodalan, pelatihan dan monitoring dan evaluasi.