Kajian
Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015; Studi Kasus Pada Pemberdayaan Petani Mandiri Kelapa Sawit
Minggu, 4 Januari 2015 | 05:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 2011
 
 

Tim penulis:
Baban Sobandi, Putri Wulandari, Rosita Novi Andari, Shafiera Amalia, Pratiwi, Candra Nugroho, Yudiantarti Safitri

Tahun:
2014

Lokus:
Pemerintah Daerah

ABSTRAK

Asean Economic Community (AEC) sebentar lagi akan kita arungi. Semua negara yang terlibat berusaha untuk mempersiapkan diri, agar pada saatnya nanti mampu memenangkan persaingan sehingga memberikan efek kesejahteraan kepada seluruh warganya. Tak terkecuali Indonesia, sebagai negara yang memiliki potensi pasar paling besar di ASEAN, dan memiliki beberapa keunggulan sumber daya dan produk, juga melakukan persiapan meskipun terlambat jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri. Buktinya, sebelum AEC diberlakukan, beberapa negara sudah menguasai pangsa pasar ASEAN untuk beberapa komoditas, misalnya Thailand menguasai pangsa pasar beberapa produk hortikultura.

Terlepas dari upaya persiapan yang terlambat, Pemerintah Indonesia harus berupaya memberikan dukungan dan dorongan kepada semua pelaku ekonomi agar mereka mampu bersaing. Beberapa komoditas unggulan yang selama ini sudah menjadi trade mark kita harus terus dijaga keunggulannya. Bahkan, kita harus mampu menciptakan keunggulan baru jika kita ingin leading dalam kancah persaingan tersebut. Kelapa sawit sebagai komoditas unggulan Indonesia saat ini dihadapkan pada pesaing seperti Malaysia dan Thailand. Kalaupun saat ini dinilai masih memiliki keunggulan dari sisi jumlah produksi, namun dari aspek produktivitas dan kualitas produk, kelapa sawit kita di bawah Malaysia. Untuk itu, perlu ada kebijakan yang memberikan iklim yang baik bagi tumbuhnya produktivitas dan kualitas produk yang tinggi. Kebijakan bukan hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, tetapi juga oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sehubungan dengan hal tersebut, kajian ini ini bertujuan untuk menganalisis berbagai kebijakan dan permasalahan kelapa sawit, sehingga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi mengenai langkah-langkah kebijakan yang harus dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah ke depan.

Karena kompleksnya permasalahan, maka kajian ini difokuskan pada kebijakan pemberdayaan petani mandiri kelapa sawit. Sementara itu, karena luasnya lokus kajian, maka dilakukan kajian bersama antara 3 (tiga) Satker di Lembaga Administrasi Negara, yaitu Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I LAN Bandung, dan Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II LAN Makassar. Adapun lokus kajian untuk PKP2A I LAN Bandung di Provinsi Sumatera Utara dengan 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhanbatu Utara. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan Metode Deskriptif dan Pendekatan Kualitatif, disimpulkan beberapahal antara lain: Pertama, masih banyak petani mandiri yang belum menggunakan benih unggul dan pupuk bersubsidi dikarenakan mahalnya harga benih unggul dan terbatasnya pupuk bersubsidi, sehingga banyak petani mandiri yang menggunakan benih palsu dan tidak memupuk kebunnya secara memadai. Akibatnya, produktivitas dan kualitas produk rendah. Kedua, Sumber Daya Manusia Penyuluh sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan usaha perkebunan sawit, jumlah dan kompetensinya sangat terbatas, bahkan di kabupaten tertentu dilakukan moratorium Penyuluh Pertanian. Akibatnya pemahaman petani terhadap teknik budi daya kelapa sawit terbatas, sehingga produktivitas dan kualitas produk menjadi rendah.

Ketiga, kelembagaan petani yaitu koperasi dan kelompok tani saat ini masih lemah. Padahal keberadaan kelembagaan petani ini memberikan manfaat bagi pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah, serta membantu akses petani ke lembaga keuangan. Akibatnya pembinaan yang dilakukan pemerintah tidak menjangkau petani mandiri dan akses petani mandiri ke permodalan tetap sulit; Keempat, Sebagian petani mandiri tidak memiliki sertifikat lahan, sehingga akses ke lembaga keuangan (bank) untuk menambah modal menjadi sulit. Akibatnya, petani mandiri melakukan budi daya sawit seadanya. Kelima, perijinan untuk pembukaan lahan sawit bagi petani mandiri tidak menjadi permasalahan. Yang menjadi permasalahan justru kebijakan pemerintah tentang ketentuan penambahan luas areal perkebunan oleh perusahaan, yang hanya mewajibkan minimal 20% dari luas tambahan lahan tersebut harus berasal dari lahan milik rakyat (plasma). Kebijakan ini memperkecil peluang petani mandiri untuk menjadi plasma.


Keenam, Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70 Tahun 2013 yang mengakibatkan TBS dikenai PPN, memberatkan petani mandiri. Ditambah lagi adanya pungutan sebesar Rp. 7,00 per kilo gram TBS sebagai kontribusi terhadap PPN CPO yang dikenakan kepada perusahaan. Ketujuh, luas lahan yang dimiliki masing-masing petani mandiri yang relatif sempit, menyebabkan “diperlukannya” peran tengkulak, meskipun harga yang diterima petani menjadi lebih rendah. Karena jika petani mandiri menjual TBS dalam partai kecil, maka biaya menjadi tidak efisien. Kondisi tersebut dibarengi oleh kebijakan penetapan harga mingguan oleh Gubernur pada level PKS, bukan harga jual petani, sehingga dengan alasan kualitas produk tidak memenuhi standar, harga yang diterima petani menjadi lebih rendah lagi. Kedelapan, bantuan sarana budidaya kelapa sawit dari pemerintah masih sangat kurang dan tidak terdistribusi dengan baik (adil).

Dalam hal perbaikan infrastruktur jalan kabupaten/desa di sekitar perkebunan, terjadi saling mengandalkan antara Pemda dengan Perusahaan, karena di satu sisi jalan kabupaten merupakan kewajiban Pemda untuk membangun dan memeliharanya, namun di sisi lain pengguna utamanya adalah kendaraan perusahaan yang mengangkut TBS. Kesembilan, pemerintah kurang dalam melakukan penelitian dan pengembangan. Kebanyakan penelitian dilakukan oleh swasta (perusahaan) yang notabene mereka melakukannya untuk kepentingan keuntungan (profit oriented). Kesepuluh, untuk mengurangi dampak negatif budi daya kelapa sawit terhadap lingkungan, belum ada kebijakan yang mendorong penerapan sistem tanam tumpang sari dan pembuatan sumur-sumur resapan di lahan perkebunan sawit. Berdasarkan temuan penelitian tersebut, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah Daerah perlu melakukan kampanye penggunaan benih unggul dan pengawasan yang lebih ketat terhadap distribusi pupuk bersubsidi. Sedangka Pemerintah Pusat perlu mengembangan sentra benih unggul pemerintah di berbagai daerah. Kedua, Pemerintah Daerah perlu mendorong pembentukan koperasi dan kelompok tani. Selain itu, perlu juga mendorong perusahaan mitra untuk memberikan dukungan bagi pengembangan koperasi. Dan yang tidak kalah pentingnya, Pemerintah Daerah harus mengatur pola kemitraan antara perusahaan dengan petani, termasuk pengaturan cost & revenue sharing serta jangka waktu kemitraan. Ketiga, Pemerintah Daerah perlu menambah jumlah penyuluh perkebunan dan peningkatan kopetensinya; Keempat, Pemerintah Daerah perlu meningkatkan kerjasama dengan perbankan untuk pemberian pinjaman modal kepada petani mandiri. Kelima, Pemerintah Daerah perlu menghentikan pungutan kontribusi petani mandiri terhadap PPN CPO.

Sementara itu, Pemerintah Pusat perlu meninjau kembali kebijakan PPN terhadap TBS. Keenam, Pemerintah Daerah hendaknya mengoptimalkan peran koperasi petani sebagai penyalur penjualan TBS kelapa sawit ke perusahaan. Ketujuh, Pemerintah Daerah perlu mengadakan kerjasama perbaikan infrastruktur jalan kabupaten/desa dengan perusahaan perkebunan (cost sharing), serta mendorong perusahaan mitra untuk mengalokasikan CSR untuk bantuan sarana budidaya kelapa sawit dan perbaikan infrasturktur jalan kabupaten/desa. Kedelapan, Pemerintah Pusat perlu menyusun grand design dan road map penelitian dan pengembangan kelapa sawit (termasuk hilirisasi) yang terintegrasi dari pusat hingga daerah dengan melibatkan berbagai unsur baik pemerintah, perguruan tinggi, swasta, BUMN hingga petani kelapa sawit secara langsung.

Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kerjasama dengan perguruan tinggi, swasta dan BUMN dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan kelapa sawit terutama dalam pemanfaatan hasil penelitian sehingga dapat diakses dan diaplikasikan dengan mudah oleh petani kelapa sawit (Triple Helix). Kesembilan, Pemerintah Daerah perlu membuat kebijakan pengembangan dukungan terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta membuat beberapa program, diantaranya; program perlindungan dan konversi sumber daya hutan, dan program rehabilitasi hutan dan lahan, yang bertujuan untuk menanggulangi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit.