Kajian
Kajian Evaluasi Kinerja Kebijakan Pendayagunaan Aparatur Negara Pada Era Kabinet Indonesia Bersatu (Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)
Rabu, 27 Mei 2009 | 12:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 2584
 
 

Tim penulis: 
Zulpikar, Haris Faozan, Susy Ella, Putri Wulandari, Agus Wahyuadianto

Tahun: 
2009

Lokus: 
Prov. Riau, Kota Pekanbaru, Kab. Kampar, Prov. Jawa Tengah, Kota Semarang, Kab. Pekalongan, Prov. NTB, Kota Mataram, Kab. Lombok Barat, Prov. Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Kab. Konawe.

 

ABSTRAK

Struktur organisasi pemerintah daerah yang secara umum, masih besar dan saling tumpang tindih merupakan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan kelembagaan pemerintah daerah sejak era reformasi pemerintahan daerah pada tahun 1999. Permasalahan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Bab 13 Naskah

Lampiran Perpres 7 Tahun 2005 tentang RPJM 2004-2009 mengenai Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Terkait dengan hal itu, maka terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel menjadi sasaran yang hendak dicapai pada era Kabinet Indonesia Bersatu. Pada kurun 2000 – 2004, Pemerintah telah menetapkan 2 (dua) kebijakan yang berkaitan dengan penataan kelembagaan pemerintah daerah, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 84 Tahun 2000 dan PP No. 8 Tahun 2003 yang mengatur tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Penerapana kedua kebijakan tersebut, menimbulkan berbagai permasalahan dan menuai kritik dari berbagai pihak. PP No. 84 Tahun 2000 telah secara nyata menimbulkan dampak luar biasa terhadap berkembangnya besaran organisasi (proliferasi) perangkat daerah di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan karena didalam PP tersebut, tidak adanya kriteria yang jelas dan tegas sebagai parameter besaran organisasi perangkat daerah. Kebijakan itu, dimanfaatkan secara kurang bijaksana oleh Pemerintah Daerah dengan membentuk organisasi perangkat daerah yang besar dan kurang mempertimbangkan azas efektif, efisien, rasional dan proporsional. Disamping itu, fakta menunjukkan, bertambah besarnya ukuran organisasi pemerintah daerah tidak dibarengi dengan pencapaian kinerja signifikan, baik kinerja pelayanan, pembangunan, maupun kinerja pemerintahan daerah yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, proliferasi yang berkembang secara nyata telah menimbulkan pembengkakan dan sekaligus inefisiensi anggaran negara.


Sebagai solusi atas permasalahan yang berkembang, kemudian diterbitkan PP No. 8 Tahun 2003 tentang hal yang sama. Namun demikian, PP No. 8 Tahun 2003 juga menuai masalah yang tidak sederhana bahkan cenderung complicated. Masalahmasalah yang disisakan PP No. 8 Tahun 2003, diantaranya adalah timbulnya chaos yang disebabkan oleh adanya rasionalisasi pegawai dan hilangnya jabatan struktural. Lebih dari itu, kinerja para pejabat yang terkena dampak rasionalisasi menunjukkan degradasi sehingga menimbulkan instabilitas dalam jalannya pemerintahan. Selain itu dirasakan bahwa kriteria-kriteria dalam PP No. 8 Tahun 2003 dirasakan sangat kaku dalam mengatur kelembagaan perangkat daerah sehingga tidak mampu menggali potensi-potensi spesifik yang dimiliki oleh daerah maupun cerminan kebutuhan riil suatu daerah.


Lahirnya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah diharapkan mampu memberikan jalan tengah atas kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dua kebijakan sebelumnya. Sehubungan dengan hal itu, untuk mengetahui ketercapaian tujuan dikeluarkannya kebijakan tersebut, maka dirasakan perlu untuk mengevaluasi kinerja PP No. 41 Tahun 2007. Berdasarkan hal dimaksud, maka rumusan permasalahan yang ditetapkan dalam kajian evaluasi kinerja kebijakan PAN pada era Kabinet Indonesia Bersatu (Tahun 2004-2009) adalah “Bagaimanakah kinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah?”.


Adapun tujuan kajian evaluasi kinerja kebijakan Pendayagunaan Aparatur Negara pada Era Kabinet Indonesia Bersatu (Tahun 2004-2009), adalah untuk mengetahui kinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, yang secara spesifik ingin mengetahui perbandingan besaran antara Organisasi Perangkat Daerah yang dibentuk sebelum dan sesudah diterapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, tingkat efektivitas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tingkat efisiensi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tingkat kecukupan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tingkat ketepatan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan tingkat responsivitas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.


Penelitian ini memadukan 2 (dua) pendekatan, yaitu kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan analisis deskriptif. Metode pengumpulan data menggunakan studi lapangan dan studi dokumentasi. Pemerintah Daerah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 12 (dua belas) yang terbagi kedalam 3 kelompok Daerah Otonom, yaitu 1) Pemerintah Daerah Provinsi Riau, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Sulawesi Tenggara; 2) Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru, Semarang, Mataram dan Kota Kendari; dan 3) Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar, Pekalongan, Lombok Barat dan Kabupaten Konawe. Selanjutnya pengolahan dan dan analisis dalam pembahasan didasarkan atas pengelompokkan jenis daerah otonom tersebut.


Pengolahan data dan analisis terhadap besaran organisasi pada masingmasing tingkat pemerintah daerah merujuk pada pengaturan besaran organisasi dalam PP No. 41 Tahun 2007 didasarkan pada variabel umum, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jawa Madura dan daerah di luar Pulau Jawa. Setelah dijumlahkan, hasil skoring ini akan menentukan besaran organsiasi perangkat daerah.


Selain harus memperhatikan Klasifikasi Besaran Organisasi Perangkat Daerah Provinsi (Pasal 20, PP No. 41 Tahun 200) dan Kabupaten/Kota (Pasal 21, PP No. 41 Tahun 2007), dalam melihat besaran organisasi perlu juga memperhatikan beberapa hal penting. Yang pertama, Pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti sekretariat badan narkotika provinsi, kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk mewadahi penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kedua, beberapa perangkat daerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan, kepegawaian, rumah sakit, dan keuangan, mengingat tugas dan fungsinya merupakan amanat peraturan perundang-undangan, maka perangkat daerah tersebut tidak mengurangi jumlah perangkat daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, dan pedoman teknis mengenai organisasi dan tata kerja diatur tersendiri.


Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis kajian ini menemukan, bahwa secara umum besaran organisasi perangkat daerah (OPD) pada Pemerintah Daerah yang dijadikan lokus penelitian telah menata OPDnya dengan merujuk PP No. 41 Tahun 2007. Namun demikian, jika dibandingkan antara besaran OPD yang dibentuk sebelum dan sesudah diterapkannya PP No. 41 Tahun 2007 menunjukkan kecenderungan, peningkatan besaran OPD (proliferasi), baik pada Pemerintah Daerah Provinsi, Kota maupun Kabupaten.


Besaran OPD pada semua Pemerintah Daerah Provinsi lokus menunjukkan peningkatan pada saat penerapan PP No. 41 Tahun 2007. Peningkatan OPD dimaksud pada jenis perangkat daerah Dinas dan/atau Lembaga Teknis Daerah (Lemtekda). Selanjutnya, terkait batasan maksimal besaran perangkat daerah Dinas, cenderung terjadi multi-interpretasi dalam pembentukan perangkat daerah yang melaksanakan fungsi keuangan, sehingga terlihat Dinas yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Tenggara melebihi batas kuota, Begitupun halnya yang terjadi dengan besaran Lemtekda, namun meningkatnya jumlah jenis perangkat daerah ini lebih disebabkan karena adanya perangkat daerah yang pembentukkannya tidak mengurangi jumlah kuota dan lembaga lain yang dibentuk sebagai bagian dari perangkat daerah yang termasuk kedalam rumpun jenis Lemtekda.


Pada Pemerintah Kota, besaran OPD yang dibentuk berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan keadaan di Pemerintah Provinsi. Bahwa, Pemerintah Daerah Kota, dalam membentuk perangkat daerah Dinas tidak menggunakan pola maksimal. Dari keempat lokus, hanya Kota Semarang yang membentuk secara maksimal perangkat daerah Dinas, bahkan cenderung terlihat melebih kuota. Namun demikian, hal itu disebabkan karena interpretasi atas pembentukan Dinas melaksanakan fungsi keuangan (seperti yang terjadi pada Pemerintah Provinsi.


Besaran organisasi di Pemerintah Kabupaten menunjukkan informasi berbeda dengan kondisi besaran organisasi di Pemerintah Provinsi dan Kota. Perbandingan Besaran Organisasi yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 di 2 Pemerintah Kabupaten menunjukkan penurunan dibanding dengan ketika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 dan/atau Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003. Hal ini dapat dilihat di Lombok Barat dan Konawe. Sedangkan besaran organisasi pada Pemerintah Kabupaten Kampar menunjukkan hal sebaliknya, dimana pada saat menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 terdapat sebanyak 28 SKPD dan berubah menjadi 37 SKPD ketika menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Adapun di Kabupaten Pekalongan mengalami fluktuasi besaran organisasi. Ketika menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 besaran organisasi berjumlah 30, kemudian turun menjadi 27 ketika menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003, dan kemudian kembali naik menjadi 28 pada saat menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.


Kecenderungan proliferasi organisasi seperti ini secara fundamental mengindikasikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sebaiknya ditinjau ulang secara seksama. Peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentu saja bukan hanya mengedepankan evaluasi pada tahap implementasi, tetapi juga mengutamakan substansi materinya. Hal demikian sangat penting karena Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 belum mampu menunjukkan kinerja optimal sebagaimana dideskripsikan dalam kajian ini. Dari deskripsi di atas, pada akhirnya patut untuk menyadari bahwa semakin meningkatnya besaran organisasi (yang secara otomatis diikuti peningkatan susunan organisasi) pasti berakibat pada melebarnya span of control dan memicu timbulnya inkoherensi institusional yaitu institusi yang tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak terintegrasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Inkoherensi institusional demikian kerap terjadi dan sesungguhnya merupakan masalah umum dimana fungsi yang semestinya dapat ditangani dalam satu unit kerja dimekarkan menjadi beberapa unit atau biasa disebut proliferasi. Dampak negatif proliferasi birokrasi adalah timbulnya tarik menarik kewenangan antar unit organisasi sehingga mengakibatkan suasana tidak harmonis atau bahkan friksi antar unit. Selain timbul inefisiensi kelembagaan, dampak proliferasi birokrasi pada umumnya bermuara pada inefektivitas organisasi birokrasi. Kondisi inilah yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah.


Berkaitan dengan kinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 pada Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten menunjukkan pada kategori “sedang”. Kategori “sedang” mengandung pengertian bahwa Kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai ”cukup memadai” tetapi masih membutuhkan fasilitasi dan pengawasan (pembinaan dan pengendalian) secara intensif dalam pelaksanaannya. Konteks fasilitasi dan pengawasan dalam hal ini meliputi seluruh pelaksanaan dimensi kinerja PP No. 41 Tahun 2007, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, ketepatan, dan responsivitasnya.


Secara umum, kinerja PP No. 41 Tahun 2007 masih belum sesuai dengan yang diharapkan yang antara lain disebabkan karena belum efektifnya pembinaan dan pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi (dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah) serta political action di tingkat Pemerintah Daerah. Adapun rekomendasi yang disarankan berdasarkan kajian ini adalah sebagai berikut:


1. Dalam rangka menjadikan pedoman yang menyeluruh bagi penyusunan Organisasi Perangkat Daerah, maka implementasi PP No. 41 Tahun 2007 sangat penting untuk didukung dengan fasilitasi yang lebih optimal melalui asistensi, bimbingan, supervisi, dan pelatihan secara memadai mengenai aplikasi analisis beban kerja sebagaimana tertuang dalam Permendagri No. 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Apabila hal ini dapat dilakukan secara cepat, tepat dan terus-menerus maka besaran maupun susunan Organisasi Perangkat Daerah yang dibentuk akan juga mempertimbangkan secara serius mengenai pentingnya mencermati cakupan tugas yang meliputi jenis dan banyaknya tugas, serta sasaran tugas yang harus diwujudkan. Kekurangmampuan Pemerintah daerah untuk melakukan Analisis Beban Kerja di lingkungannya secara tepat dan menyeluruh menjadi pemungkin utama tidak dilakukannya Analisis Beban Kerja dalam pengembangan organisasinya. Kondisi demikian tampaknya menjadi gambaran umum yang terjadi di lingkungan Pemerintah Daerah.


2. Juga tidak kalah penting bahwa agar PP No. 41 Tahun 2007 secara optimal mampu menjadi pedoman yang menyeluruh bagi penyusunan Organisasi Perangkat Daerah maka perlu dan penting untuk menerbitkan berbagai pedoman yang berkaitan dengan optimalisasi ketatalaksanaan Organisasi Perangkat Daerah. Pedoman-pedoman tersebut diantaranya Pedoman Penyusunan Rumusan Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah (Satuan Kerja Perangkat Daerah), Pedoman Penyusunan Uraian atau Rincian Tugas Jabatan (dari Eselon tertinggi hingga Eselon terendah), Pedoman Penerapan Koordinasi di Lingkungan Pemerintah Daerah, Pedoman Penjabaran Tata Kerja di Lingkungan Pemerintah Daerah, dan Pedoman Penerapan Manajemen Kinerja Pemerintah Daerah.


3. Hal lain yang menjadi sangat penting dan utama agar PP No. 41 Tahun 2007 secara optimal mampu menjadi pedoman yang menyeluruh bagi pengendalian Organisasi Perangkat Daerah adalah sangat penting untuk menerbitkan “Pedoman mengenai Penerapan Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi Antardaerah dan Antarsektor”. Pemerintah perlu mencermati bahwa penerapan KISS Antardaerah dan Antarsektor kerapkali menjadi permasalahan yang tidak berkesudahan, sehingga seringkali mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Apabila pedoman ini dapat disusun secara komprehensif dan terpadu, maka dapat diprediksi bahwa proses (process) maupun keluaran (output) dari pengendalian Organisasi Perangkat Daerah akan berkontribusi positif terhadap hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact) Organisasi Perangkat Daerah itu sendiri.