Kajian
Difusi Inovasi dalam Sektor Publik Studi Kasus Pembangunan Teras Cikapundung di Kota Bandung
Sabtu, 9 Januari 2016 | 12:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 1465
 
 

Tim penulis:
Harida Harida Indraswari, Shafiera Amalia, Agus Wahyuadianto

Tahun:
2015

Lokus:
Pemerintah Daerah Kota Bandung

ABSTRAK

Sungai Cikapundung adalah sungai sepanjang 28 km yang melintasi Kota Bandung. Hulu sungai ini adalah di Bukit Tunggul, daerah Bandung Utara, Jawa Barat dan bermuara di Sungai Citarum di daerah Selatan Bandung. Daerah pengaliran Sungai Cikapundung meliputi 7 (tujuh) Kecamatan dan 13 Kelurahan di Kota Bandung. Sungai ini sebetulnya memiliki banyak potensi, seperti sebagai sumber air bersih; aliran air; dan potensi wisata. Namun, sebagai sungai yang mengalir melewati wilayah kota besar, banyak juga masalah yang dihadapi yaitu ukurannya yang semakin menyempit; semakin dangkal; penuh dengan sampah dan limbah; airnya sudah tercemar dan sempadannya digunakan sebagai pemukiman penduduk (Revitalisasi Sungai Cikapundung, 2013).

Bila melihat konsep tata kota dan penataan ruang, posisi Sungai yang membelah Kota memiliki potensi besar untuk menjadi sumber perekonomian masyarakat. Konsep ini dikenal dengan istilah waterfront city. Damayantie dalam Christiady & Mussadun (2013) mengemukakan bahwa Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan merupakan contoh best practice negara yang sudah mengimplementasikan konsep waterfront city. Sungai ini dahulunya terkenal kumuh dan “tidak memiliki masa depan” bagi masyarakat di sekitarnya. Saat ini dapat diubah menjadi sungai yang memiliki potensi perekonomian dan menjadi ikon kota serta tempat tujuan wisata. Dengan demikian, Sungai Cikapundung pun juga dapat dimanfaatkan menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan mengubah sungai dan sempadannya menjadi ruang-ruang publik yang dapat menjadi ikon dan objek wisata baru di Kota Bandung.

Namun demikian kegiatan pembangunan Teras Cikapundung ini bukan tanpa kendala. Hal ini dikarenakan lokasi yang diproyeksikan sebagai natural area (ruang terbuka hijau) merupakan arena pemukiman penduduk. Sehingga untuk dapat merealisasikan keseluruhan ide inovatif ini, Pemerintah Kota Bandung harus merelokasi sekitar 40 KK dan sekitar 108 jiwa dari RT 05, RW 10 Kelurahan Hegarmanah Kecamatan Cidadap untuk pindah dari bantaran sungai ke Apartemen Sadang Serang yang sudah disiapkan (Nurmatari, 2015). Proses ini dapat dipandang sebagai hasil proses difusi inovasi kepada warga di bantaran Sungai Cikapundung agar dapat memahami ide pemerintah dan turut mendukung ide tersebut dengan pindah ke lokasi baru yang sudah disiapkan. Upaya relokasi ini berjalan cukup panjang, namun akhirnya berhasil tanpa keributan dan kekerasan. 

Oleh karena itu, menarik untuk mencermati proses difusi inovasi ini. Banyak pemerintah daerah yang melakukan relokasi sebagai bagian realisasi kegiatan inovatifnya justru ditentang oleh warga dan menimbulkan kekerasan dan kericuhan. Sementara pemerintahan Kota Bandung dibawah kepemimpinan Ridwan Kamil mampu melakukan relokasi tersebut dengan tertib dan damai. Kajian ini berupaya menggali lebih jauh terkait dengan proses difusi inovasi dalam kegiatan relokasi, sehingga dapat diketahui bagaimana prosesnya, apa yang menjadi kendala dan hambatannya dan apa lesson learned yang dapat diambil untuk dapat diterapkan di Daerah-Daerah lain.