Kajian
Kajian Pengembangan Model Akreditasi Lembaga Diklat
Senin, 26 Mei 2008 | 12:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 2764
 
 

Tim penulis: 
Edah Jubaedah, Joni Dawud, Harida Indraswari, Wuri Indri Pramesti

Tahun: 
2008

Lokus : 
Kantor Diklat Propinsi DKI Jakarta, Badan Diklat Propinsi Jawa Tengah, Badan Diklat Propinsi Jawa Timur, Badan Diklat Propinsi Sumatera Utara, Badan Diklat Propinsi Kalimantan Timur, Badan Diklat Propinsi Propinsi Bali, Badan Pengembangan Sumber Daya Aparatur Propinsi Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Akreditasi merupakan suatu instrumen kebijakan untuk menentukan kelayakan suatu lembaga diklat pemerintah di dalam menyelenggarakan suatu program diklat. Akreditasi dilakukan agar penyelenggaraan diklat pada semua lingkup mengacu pada standar nasional penyelenggaraan diklat. Akreditasi lembaga diklat pemerintah mempunyai pengertian sebagai proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja lembaga diklat sebagai bentuk akuntabilitas publik, alat regulasi did (self regulation) di mana lembaga diklat mengenal kekuatan dan kelemahan serta terns menerus meningkatIcan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Pengertian ini lebih memberikan makna dalam hasil sebagai strata pengakuan, suatu lembaga diklat telah memennhi standar kelayakan yang ditentulcan. 

Penerapan akreditasi dalam penyelenggaraan diklat aparatur mempakan amanah dari kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri SipiL Kebijakan tersebut selatutnya dituangkan dalam kebijakan operasional yang ditetapkan oleh instansi pembina diklat yaitu dalam Keputusan Kepala LAN Nomor 194/M/10/6/2001 tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifilcasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil dan yang kemudian direvisi dan dituangkan dalam Peraturan Kepala LAN Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Akreditasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah. Dalam pedoman tersebut ditetapkan bahwa akreditasi adalah "penilaian kelayakan Lembaga Diklat Pemerintah dalam menyelenggarakan Program Diklat tertentu yang ditetapkan dalam Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh Instansi Pembina". Adapun kelayakan lembaga diklat tersebut didasarkan pada penilaian terhadap indikator-indikator tenaga kediklatan, program diklat dan fasilitas diklat. Berdasarkan penilaian terhadap unsur-unsur tersebut Instansi Pembina Diklat atau LAN akan memberikan sertifikat yang menyatakan kewenangan suatu Lembaga Diklat untuk menyelenggarakan jenis dan jenjang diklat tertentu. 

Penerapan kebijakan akreditasi sejak tahun 2001 dalam sistem kediklatan PNS telah menghasilkan diakreditasinya berbagai lembaga diklat di linglomgan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Daerah. Berdasarkan data LAN selama periode 2003-2007 teridentifikasi lembaga-lembaga diklat yang sudah terakreditasi untuk menyelenggarakan diklat prajabatan, kepemimpinan dan diklat teknis/fungsional. Sampai dengan tahun 2007 lembaga diklat baik di departemen, lembaga non departemen maupun pemerintah daerah yang terakreditasi untuk menyelenggarakan Diklat Prajabatan baik Golongan I dan lI maupun Golongan III sebanyak 71 lembaga. Sedangkan lembaga diklat yang terakreditasi untuk menyelenggarakan Diklatpim Tingkat II dan III masing-rnasing sebanyak 68 lembaga dan 63. Adapun yang terakreditasi untuk menyelenggarakan Diklat Kepemimpinan Tingkat II hanya 5 lembaga. Begitu pula lembaga diklat yang terakreditasi untuk menyelenggarakan Diklat Teknis/Fungsional hanya 5 lembaga. Padahal data dart Sistem Informasi Diklat Aparatur (SIDA) LAN memperlihatkan bahwa sampai dengan tahun 2007 tercatat sekitar 400-an lembaga diklat baik yang dimiliki oleh Instansi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Berdasarkan fakta tersebut ada hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut berkaitan dengan kebijakan akreditasi, yaitu pertama kinerja lembaga-lembaga yang terakreditasi dan kedua sistem akreditasi itu sendiri. 

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sejauh mans kinerja lembaga diklat yang terakreditasi dan bagaimana sistem akreditasi itu sendiri sebagai suatu instrumen untuk menilai kelayakan suatu lembaga diklat dalam penyelenggaraan jenis dan jenjang diklat tertentu. ICajian ini bertujuan untuk

  1. Mengukur kinerja dart lembaga diklat yang sudah terakreditasi khususnya di dalam menyelenggarakan Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan baik dim dimensi input maupun output;
  2. Mengevaluasi sistem akreditasi lembaga diklat yang didasarkan pada pedoman akreditasi yang termuat dalam ketentuan SK Kepala LAN Nomor 194/X111/10/6/2001 tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pegavvai Negeri Sipil;
  3. Menganalisis hal-hal yang perlu disempurnakan dalam penerapan sistem akreditasi dengan menggunakan pedoman akreditasi dalam ketentuan Peraturan Kepala LAN Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Akreditasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah. 

Populasi dalam kajian ini adalah seluruh lembaga diklat daerah pemerintah propinsi di Indonesia yang seluruhnya berjumlah 33 lembaga. Namun demikian tidak semua populasi tersebut akan dikaji akan tetapi diambil 7 (21%) Badan Diklat Daerah secara acak dengan kriteria periode akreditasi dan lokasi yang dianggap mewakili beberapa wilayah di Indonesia. Berdasarkan kriteria tersebut lembaga diklat yang dipilih menjadi sampel kajian adalah Kantor Diklat Propinsi DKI Jakarta, Badan Diklat Propinsi Jawa Tengah, Badan Diklat Propinsi Jaws Timur, Badan Diklat Propinsi Sumatera Utara, Badan Diklat Propinsi Kalimantan Timur, Badan Diklat Propinsi Bali dan Badan Pengembangan Sumber Daya Aparatur Propinsi Sulawesi Selatan.

Pengukuran terhadap kinerja input di 7 (tujuh) lembaga diklat terakreditasi dalam penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan dan Diklat Prajabatan dalam kurun waktu 2005-2007 memperlihatkan hasil-hasil sebagai berikut: 

  1. Ketersediaan pegawai pengelola diklat bila dibandingkan dengan widyaiswara yang diukur dari rasio jumlah pegawai terhadap jumlah widyaiswara menunjukkan rata-rata rasio cukup memadai (5 : 1).
  2. Ketersediaan pegawai pengelola diklat bila dibandingkan dengan jumlah program diklat yang dilaksanakan memperlihatkan rata-rata rasio yang cukup (7 : 1).
  3. Prosentase pegawai yang sudah mengikuti program pengembangan kompetensi dalam bidang kediklatan yaitu Diklat Management of Training (MOT) dan Diklat Training Officer Course (TOC) menunjukkan rata-rata yang relatif masih rendah (21,41%).
  4. Prosentase pegawai dengan kualifikasi pendidikan Sarjana dan Magister memperlihatkan rata-rata nilai yang cukup tinggi (51,01%). Hal ini berarti sebagian besar pegawai lembaga diklat terakreditasi memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi.
  5. Ketersediaan pegawai yang memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan diklat memperlihatkan rata-rata nilai yang relatif cukup kecil (24,22%). Idealnya semen pegawai yang bekerja di lembaga diklat terakreditasi memiliki pengalaman di dalam menyelenggarakan diklat terutama Diklat Prajabatan dan Diklat Kepernimpinan.
  6. Pendayagunaan widyaiswara yang diukur dengan rasio jumlah widyaiswara yang dimiliki lembaga diklat terhadap jumlah program diklat yang diselenggarakan memperlihatkan nilai rata-rata rasio sebesar I (satu). Artinya di beberapa lembaga diklat minimal didayagunakan di dalam 1 program diklat
  7. Ketersediaan widyaiswara yang memiliki kualifikasi pendidikan tertentu diukur dengan menghitung prosentase widyaiswara yang memiliki tinglcat pendidikan tertentu. Dalam hal ini terutarna kualifikasi pendidikan S-2 atau pascasadana sebagai standar maksimal. Kinerja input lembaga diklat dilihat dan i indikator ini menunjukkan bahwa rata-rata ketersediaan widyaiswara dengan kualifikasi pendidikan S-2 atau Pascasarjana cukup tinggi yaitu dengan nilai rata-rata 59,63%.
  8. Pengukuran terhadap lcinerja input dari indikator pengembangan kapasitas widyaiswara memperlibatkan bahwa rata-rata pengembangan kapasitas widyaiswara prosentasenya masih kecil (18,37%). Prosentase tertinggi di antara 7 lembaga diklat terkreditasi angkanya mencapai 57,5% yaitu di Badan Diklat Propinsi Kalimantan Timur. 
  9. Pengukuran terhadap indikator ketersediaan vvidyaiswara yang berpengalaman dalam mengajar memperlihatkan ketersediaan widyaiswara yang sudah memiliki pengalaman mengajar yang sangat tinggi dengan rata-rata prosentase sebesar 94,42%.
  10. Kinerja input lembaga diklat terakreditasi dari indikator penilaian peserta terhadap widyaiswara di dalam mengajar sebagai indikator kualitas internal process menunjukkan rata-rata penilaian pada kategori Baik Sekali.
  11. Kinerja input dari indikator ketersediaan sarana dan prasarana menunjukkan bahwa rata-rata rasio kurang dari 1 (satu) yang menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga diklat memiliki daya tampung kelas yang lebih untuk penyelenggaraan Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan Tingkat lII dan IV. Hal ini menunjukkan puta bahwa daya tampung kelas yang ada belum dioptimalkan secara penult untuk penyelenggaraan diklat prajabatan dan kepemimpinan. Kelebilan kelas ini bisa jadi digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional.

Adapun basil pengukuran terhadap kinerja output di 7 (tujuh) lembaga diklat terakreditasi dalam penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan dan Diklat Prajabatan selama periode 2005 sampai dengan 2007 memperhatikan sebagai berikut:

  1. Indikator, untuk menilai kinerja output lembaga diklat terutama dalam penyelenggaraan Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan adalah dilihat dari kualifikasi kelulusan peserta diklat yang dihasilkannya. Semakin tinggi kualifikasi kelulusan yang diperoleh peserta diklat bisa mengindikasikan bahwa kinerja output yang dihasitkan lembaga diklat tersebut semakin tinggi pula Dalam sistem diklat aparatur kualifikasi kelulusan peserta diklat dikategorikan menjadi 5 kelompok yaitu (a) Sangat Memuaskan, (b) Memuaskan, (c) Baik Sekali, (d) Baik, dan (d) Tidak Lulus. Adapun kualifikasi kelulusan peserta diklat di enam lembaga diklat yang memberikan datanya menunjukkan rata-rata berada pada kategori "Baik Sekali" dengan prosentase sebesar (49,99%). Adapun prosentase kelulusan peserta yang berada pada kategori "Memuaskan" kecil sekali (7,33%), bahkan di lembaga-lembaga diklat tersebut selama periode 2005-2007 tidak ada peserta diklat Prajabatan dan Kepemimpinan Tingkat III dan N yang lulus dengan kategori "Sangat Memuaskan".
  2. Kinerja ouput lembaga diklat yang juga penning untuk dilihat adalah penyelenggaraan program diklat itu sendiri sebagai tugas pokok atau core business dari institusi yang bergerak dalam kediklatan. Berkaitan dengan status akreditasi yang diberikan kepada lembaga diklat, maka kinerja ouput dari indikator penyelenggaraan program diklat tentunya adalah dalam hal penyelenggaraan Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan Tingkat HI clan. N. Pengukuran kinerja ouput dari indikator penyelenggaraan program diklat terutama dilihat adalah prosentase penyelenggaraan diklat yang sumber anggarannya bukan dari APBD/APBN, tapi yang berasal dari PNBP atau kerjasama (penerimaan negara bukan pajak). Hal ini untuk melihat sejauh raana lembaga diklat teralcreditasi memanfaatkan peluang yang ada untuk meninglcatkan intensitas penyelenggaraan program diklat berlcaitan dengan status dan kewenangan yang dimilikinya dalam penyelenggaraan balk diklat prajabatan maupun diklat kepemimpinan. Kinerja ouput lembaga diklat diukur dari intensitas penyelenggaraan program diklat prajabatan balk Golongan I dan H maupun Golongan III dengan pola PNBP memperlihatkan angka yang cukup tinggi dengan prosentase rata-rata sebesar 52,12%. Lembaga diklat yang prosentasenya di atas rata-rata adalah Badan Diklat Propinsi Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Sedangkan kinerja ouput dalam penyelenggaraan program diklat Kepemimpinan Tingkat DI dan IV dengan pola PNBP mencapai angka yang cukup tinggi pula dengan prosentase rata-rata sebesar 47,46%. Lembaga diklat yang penyelenggaraan kedua jenis diklat ini paling tinggi adalah Badan Diklat Kalimantan Timur dan Jawa Timur. 
  3. Indikator lain yang digtmakan untuk mengukur kinerja ouput lembaga diklat terakreditasi adalah perkembangan jumlah alumni yang dihasilkan. Angka ini menunjukkan tingkat produktivitas lembaga tersebut di dalam menyelenggarakan diklat ICinerja ini diukur dengan mengukur peninglcatan jumlah alumni diklat yang dihasilkan selama periode tahuns 2005 sampai dengan tahuns 2007. Lembaga diklat yang paling tinggi kinerja perkembangan alumninya dan juga jumlah alumni diklat baik Diklat Prajabatan maupun Diklat Kepemimpinan yang paling tinggi adalah Badan Diklat Propinsi Jawa Timur, sedangkan lembaga diklat yang kinerja perkebangan alumni diklatnya paling rendah adalah Kantor Diklat Propinsi DKI Jakarta. 

Berdasarkan basil pengukuran kinerja tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja input dan ouput lembaga diklat yang terakreditasi menunjukkan kondisi yang cukup baik. Meskipun kajian ini tidak secara langsung mengukur keterkaitan atau hubungan langsung antara status akreditasi dengan capaian kinerja lembaga diklat, namun barangkali dapat diasumsikan bahwa setidak-tidaknya status akreditasi memberikan konhibusi terhadap kinerja lembaga diklat Apalagi akreditasi tidak saja bertujuan untuk memberikan penilaian kelayakan lembaga diklat di dalam menyelenggarakan suatu program diklat, akan tetapi juga diharapkan dapat memicu lembaga diklat untuk meningkatkan kinerjanya. Status akreditasi tentunya hanya akan diberikan kepada lembaga-lembaga diklat yang memmjukkan Icinelja yang baik.

Evaluasi terhadap kebijakan akreditasi yang .didasarkan pada Keputusan Kepala LAN Nomor 194DGH/10/6/2001 tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil memperlihatkan masih adanya beberapa permasalahan sebagai berikut:

  • Kurangnya pemahaman lembaga diklat terhadap proses akreditasi yang disebabkan oleh kurangnya instansi Pembina diklat melakukan sosialisasi kebijakan atau peraturan akreditasi lembaga yang memberikan infonnasi secara jelas dan detil tentang prosedur dan mekanisme akreditasi
  • Kurang jelasnya kriteria penilaian dalam proses akreditasi lembaga diklat
  • Kurang adanya standar yang dapat dijadikan acuan bagi lembaga diklat untuk memenuhi persyaratan agar dapat diakreditasi terutama untuk komponen sarana dan prasarana dan tenaga kediklatan
  • Prosedur dan mekanisme proses akreditasi dirasakan masih belum sederhana
  • Kurang jelasnya batas-batas kewenangan yang diberikan kepada lembaga diklat terakreditasi dalam penyelenggaraan diklat secara keseluruhan. Kewenangan yang diberikan kepada lembaga diklat terakreditasi diharapkan tidal( hanya sebatas kepada penyelenggaraan program diklatnya saja, akan tetapi juga kewenangan yang berkaitan langsung dengan upaya untuk meningkatkan cfisiensi dan efektivitas penyelenggaraan diklat.
  • Masih belum jelasnya mekanisme dan prosedur akreditasi lembaga diklat untuk penyelenggaraan Diklat Teknis dan Fungsional
  • Masih banyaknya kendala yang dihadapi oleh lembaga diklat untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan untuk memperoleh status akreditasi. Misalnya kendala dalam keterbatasan widyaiswara yang dimiliki oleh lembaga diklat. 

Berkaitan dengan beberapa permasalahan dalam pelaksanaan akreditasi lembaga diklat yang didasarkan pada Keputusan Kepala LAN Nomor 194/XIII/10/6/2001, maka LAN selaku instansi pembina diklat telah merevisi pedoman tersebut dengan menerbitkan pedoman yang baru yaitu yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala LAN Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Akreditasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah. Beberapa perubahan yang diatur dalam pedoman akreditasi tersebut adalah sebagai berikut:

  • Perubahan nomenidatur pedoman dad "Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil" menjadi "Pedoman Akreditasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah". Perubahan nomenklatur ini berkaitan erat dengan peraturan kebijakan akreditasi yang tetah diterbitkan oleh LAN sebelumnya yaitu Peraturan Kepala LAN Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pedoman Akreditasi Lembaga Diklat Swasta Penyelenggara Diklat bagi PNS.
  • Penekanan tujuan akreditasi yang tidak hanya untuk mengetahui mengetahui tingkat kelayakan lembaga diklat dalam menyelenggarakan jenis dan jenjang diklat tertentu, akan tetapi sekaligus bertujuan untuk menetapkan kalayakannya itu sendiri.
  • Perubahan unsure-unsur pcnilaian dari 4 (empat) unsur yaitu unsur kelembagaan Diklat, Program Diklat, SDM penyelenggara Diklat dan Widyaiswara menjadi hanya 3 (tiga) unsur yaitu unsur tenaga kediklatan, program diklat dan fasilitas diklat.
  • Perubahan komponen-komponen penilaian dari sctiap unsur akreditasi. Perubahan komponen-komponen penilaian terutama yang paling signifikan adalah dalam unsur fasilitas diklat yang terdiri dari komponen saran diklat dan prasarana diklat. Dalam pedoman akreditasi sebetumnya, komponen ini merupakan bagian dari penilaian terhadap unsur kelembagaan diklat. Perubahan ini merupakan jawaban alas tuntutan akan pertunya penyederhaan penerapan akreditasi terhadap lembaga diklat
  • Komposisi pembobotan untuk setiap unsur penilaian. Bobot penilaian untuk tenaga kediklatan yang meliputi pengelola lembaga diklat dan widyaiswara mengalami penurunan dari sebesar 50 persen menjadi 45 persen. Bobot penilaian terhadap fasilitas diklat ditingkatkan menjadi 25 persen, adapun dalam pedoman sebelumnya bobot penilaian terhadap unsur kelembagaan hanya 20 person. Salah sate implikasinya adalah bahwa lembaga diklat yang ingin terakrcditasi hams semakin memperhatikan ketcrsedian dan kualitas saran dan prasarana diklat yang dimilikinya.
  • Semakin berorientasinya penilaian terhadap unsur tenaga kediklatan (pengelola dan widyaiswara) kepada kompetensi. Hal ini sejalan dengan penerapan kebijakan diklat berbasis kompetensi. Salah satu implikasinya adalah bahwa lembaga-lembaga diklat untuk memperoleh pengakuan atau status akreditasi hams semakin meningkatkan kinerja program pengembangan bagi peningkatan kompetensi pegawai (Diklat MOT dan TOC) dan widyaiswaranya (Diklat TOT). Karen dengan pedoman akreditasi yang bare, semakin banyak pegawai atau widyaiswara yang tclah mengikuti program pengembangan yang berkaitan dalam kediklatan atau kewidyaiswaraan maka penilaian yang diperolelmya akan semakin tinggi.
  • Dikembangkannya indikator, kriteria penilaian scrta standar nilai yang lebih jelas dan rinci sebagai acuan penilaian untuk mengakreditasi lembaga diklat.
  • Pelaksanaan akreditasi ditakukan oleh dua tim yang berbeda yaitu Tim Verifficasi dan Tim Penilai dengan masing-masing tugasnya yang berbeda. Susunan keanggotaan di kedua tim tersebut melibatkan berbagai pihak yang dianggap memiliki kepentingan erat dengan pemberian status akreditasi lembaga diklat pemerintah.
  • Dikembangkannya kategorisasi lembaga diklat terakreditasi yang didasarkan pada hasil penilaian yang diperoleh lembaga diklat. Kategorisasi tersebut dikaitkan dengan masa berlaku sertifikat akreditasi yang diberikan kepada lembaga diklat. Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut; Kategori A masa berlaku sertifikat selama 5 (lima); Kategori B masa berlaku sertifikat 3 (tiga) tahun, dan Kategori C masa berlaku sertifikat 2 (dua) tahun. Implikasi penerapan kategorisasi ini diharapkan untuk memicu lembaga diklat mencapai status akreditasi yang paling tinggi sehingga masa berlaku status akreditasi tersebut pun menjadi lebih lama.
  • Adanya ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban dan lembaga diklat pemerintah terakreditasi. Hak lembaga diklat pemerintah terakreditasi yang ditetapkan dalam pedoman ini masih bersifat umum yaitu kewenangan didalam penyelenggaraan diklat tertentu sesuai dengan ketetapan dalam Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi yang diperoleh. Adapun kewajiban lembaga diklat pemerintah terakreditasi adalah kewajiban untuk berkoordinasi dan menyampaikan laporan penyetenggaraan program diklat kepada Instansi Pembina, Instansi Pembina Jabatan Fungsional dan/atau Instansi Teknis