Kajian
Model Kemitraan Strategis Dalam Pengembangan Inovasi Administrasi Negara
Rabu, 30 November 2016 | 12:00:00 WIB - Jumlah Dilihat: 587
 
 

Tim penulis:
Krismiyati Tasrin; Pratiwi; Susy Ella

Tahun:
2016

Lokus:
Pemerintah Daerah

ABSTRAK

Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia harus menghadapi kesempatan (opportunity) dan tantangan (threat) yang lebih besar. Di sini, Indonesia dituntut untuk mampu bersaing dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Untuk itu, setiap elemen baik pemerintah, swasta maupun masyarakat harus terus berbenah dalam rangka meningkatkan kapasitas dan daya saing bangsa.

Salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing bangsa adalah melalui inovasi. Berbagai terobosan dan inovasi baru harus terus diciptakan dalam rangka meningkatkan kinerja di berbagai bidang, salah satunya di bidang administrasi negara. Dalam hal ini, inovasi diperlukan untuk menjalankan pemerintahan dan proses reformasi birokrasi dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin kompleks.

Namun berdasarkan Global Innovation Index (GII), peringkat indeks inovasi di Indonesia pada tahun 2013 menempati peringkat 85, kemudian mengalami penurunan menjadi 87 pada tahun 2014. Sementara pada tahun 2015 turun lagi menjadi 97, namun pada tahun 2016 naik ke posisi 88. GII ini diukur berdasarkan riset yang dilakukan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) bersama dengan Cornel University dan INSEAD. Riset tahunan tersebut merupakan hasil survei di 143 negara di seluruh dunia dengan menggunakan 81 indikator untuk mengukur kemampuan inovasi dan hasil kinerja inovasi. Sejak tahun 2007, GII ini diklaim sebagai alat benchmarking terkemuka untuk para eksekutif bisnis, pelaku kebijakan dan pemerhati yang ingin mengetahui tingkat inovasi sebuah negara.

Masih rendahnya tingkat inovasi Indonesia dibanding negara-negara lain, bukan berarti semangat berinovasi tidak berkobar sama sekali di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini sebenarnya sudah semakin banyak daerah yang melakukan terobosan dan inovasi baru, seperti Surabaya, Bandung, Bantaeng, Banyuwangi dan sebagainya. Selain itu, dilihat dari aspek regulasi, beberapa kebijakan telah digulirkan dalam rangka mendukung upaya meningkatkan budaya inovasi di Indonesia. Pada Pasal 386 dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Kebijakan lain yang juga mendorong pemerintah daerah untuk berinovasi adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik yang menyebutkan bahwa pemerintah perlu melakukan pembangunan dan pengembangan inovasi pelayanan publik agar dapat mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan inovasi di lingkungan pemerintah daerah adalah dengan membangun kolaborasi atau kemitraan (partnership). Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa kolaborasi beberapa stakeholders telah menuntun terjadinya perubahan evolusioner pada kinerja pemerintah (Vurro, et al, 2010). Organisasi masyarakat sipil juga terbukti lebih efektif ketika mereka berkolaborasi (Huijstee, 2012), sementara di sisi lain pada sektor privat juga sedang gencar mencari cara-cara baru dalam menciptakan nilai bersama melalui mekanisme kolaborasi (Porter dan Kramer, 2011). Dalam konteks praktik-praktik terbaik (bestpractices) inovasi pemerintahan secara global, beberapa penelitian lain membuktikan bahwa kolaborasi multi-stakeholder memiliki fungsi utama dalam menjamin keberlanjutan dan kesuksesan inovasi (Borins, 2000; Pattakos dan Dundon, 2003; Kamarack, 2003; Kalvet, 2012; Howard, 2012; Bryson, 2013).

Selain itu, pelibatan partisipasi publik juga merupakan salah satu bentuk kolaborasi yang menjadi salah satu kunci sukses dalam penyelenggaraan pelayanan publik di daerah. Beberapa kajian membuktikan bahwa partisipasi publik sangat berkontribusi dalam pencapaian tujuan dan pengambilan keputusan pemerintahan. Sebuah penelitian yang menguji model teori organisasi membuktikan bahwa partisipasi warga merupakan sebuah strategi umum yang dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam praktek-praktek administrasi publik (Yang dan Pandey, 2011).

Kota Bandung merupakan salah satu daerah yang cukup gencar melakukan inovasi. Hal ini dibuktikan dengan perolehan predikat Kota Bandung sebagai kota dengan inovasi terbanyak dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada akhir 2014. Kota ini juga terpilih sebagai salah satu dari enam kota di dunia yang tergolong smartcity dalam ajang WorldSmartcityAwards, sebuah pemilihan di Barcelona, Spanyol pada akhir tahun 2015. Dengan capaian tersebut, posisi Bandung setara dengan kota-kota terkemuka di dunia seperti Curitiba di Brazil, Buenos Aires di Argentina, Peterborough di Inggris, Moskow di Rusia serta Dubai di Uni Emirat Arab. Selain itu, pada akhir tahun 2015 lalu, Kota Bandung juga kembali terpilih sebagai penerima Piala Adipura setelah selama 17 tahun kota ini absen sebagai penerima penghargaan di bidang lingkungan tersebut.

Salah satu strategi yang dikembangkan oleh Walikota Bandung, Ridwan Kamil, dalam melakukan inovasi adalah dengan mengembangkan kolaborasi dengan berbagai pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta maupun masyarakat. Menurut Ridwan Kamil “networking is everything”. Hal ini penting mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Bandung. Dari sisi anggaran misalnya, Kota Bandung menghadapi persoalan kesenjangan (gap) anggaran untuk pembiayaan pembangunan. Menurut Data dari Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kota Bandung, pada tahun 2016 menyebutkan bahwa kapasitas Anggaran Belanja dan Pembangunan Daerah (APBD) Kota Bandung untuk pembangunan infrastruktur sangat terbatas yaitu sebesar Rp. 7.2 Trilliun (US $ 533.3 Juta) sementara estimasi kebutuhan pembiayaanya sebesar Rp. 60 Triliun (US$ 4.4 Milyar). Bukan hanya menyoal keterbatasan anggaran, Pemerintah Kota Bandung juga dihadapkan pada persoalan keterbatasan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan sarana prasarana lainnya. Oleh karenanya, kolaborasi adalah salah satu strategi yang diambil dalam kerangka menyelesaikan persoalan-persoalan ini. Bentuk-bentuk kolaborasi dalam kerangka mewujudkan inovasi di daerah inilah yang kemudian disebut sebagai model kemitraan strategis.

Mengingat dalam kurun waktu 2013-2016, Kota Bandung dipandang cukup mampu mengembangkan model-model kemitraan strategis dalam rangka mendorong terjadinya inovasi di daerah, maka selanjutnya Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Adminsitrasi Negara (PKP2A I LAN) sebagai lembaga yang berperan dalam menyelenggarakan kajian dan mendorong inovasi administrasi negara, memandang perlu untuk mengkaji mengenai model-model kemitraan strategis tersebut untuk kemudian dapat dikembangkan dan direplikasi oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Harapan kedepannya, banyak daerah di Indonesia yang sukses membangun kemitraan dalam rangka inovasi di bidang administrasi negara. 

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah “Bagaimana Model Kemitraan Strategis di Pemerintah Daerah dalam Inovasi Administrasi Negara”. Selanjutnya, rumusan masalah tersebut diturunkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana model kemitraan strategis yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Bandung dalam inovasi administrasi negara; 2) Bagaimana model pengembangan kemitraan strategis dalam administrasi negara yang dapat direplikasi oleh daerah-daerah lain di Indonesia; 3) Apa saja prasayarat (prerequisites) atau kunci sukses (keysuccessfactors) dalam implementasi model kemitraan strategis di pemerintah daerah dalam inovasi administrasi negara?